Listen to my thoughts and favorite tunes: On Air!

Sunday 16 June 2013

“Please all, and you will please none.”

It's 9.36 AM. Lovely Sunday weather :)
And I don't know why, I can't stop smiling since yesterday.

Being grateful is not hard, when you're happy.
When you're down, it's way much harder.
True.

Recently, I know what I should post here.
It's kind of revelation. At least, for me. Because now, I know and understand why I react differently to my social life than I was a junior-high schooler.

I'm actually an introvert. But, nobody sees me like I'm the one, except my nuclear family and my closest friends.
Back then, I've been trying to please everyone. As if, I could do anything for them.
Some said, I was nice, funny, energetic, helpful, cheerful, smart. Everything, you name it
Despite it all, I left my opinions unspoken and it was often to follow somebody's lead.
But, what I remember when I was around 12-15 years old, life never been that easy. I enjoyed every moment in my life. Everything seemed so easy, fun, interesting.

And then, I agreed to go to school which Papa have chosen for me like for my sister.
We moved to Yogyakarta, around July 10th 2007.
Different city. Err.. It's more like town for me, though. Hehe.

New social life, new friends, new environment, new habits, new culture.
I tried to adapt. Thank God, I found nice friends. Some I still keeping in touch with them, and the rest, i don't know.

It's hard when you bump into new place, you tried to please everyone so they can be nice to you, you understand them but they might hard to understand you. I felt that I have to follow the habits here, I tried everything to fit in.
Trying to fit in new place here in Yogyakarta for the first 4 years.
Struggling with all the cultures shocks I've been through.
Questioning, why are they so slow (rarely find on-time person here, FYI, it's part of the culture.) and the food here so sweet I couldn't stand it.
The urge to go back to Jakarta was so huge, because I missed the way I lived there, how I really missed my old friends, how I missed its savory foods. Everything. I missed evey little thing of my "big city" life, back then.
Yeah. I got homesick.

I was so stressed out and acted so strange. So sensitive that even when one of my family member didn't agree with me, I cried.
Papa brought me to a pshycologist.
There you go, know that I'm that miserable, that was the ridiculous moment of my life. Terrible.
It's my past and this is not about the place, I guess, it's something to do with the ability of myself to adapt to new things.

She asked me to do 10 week sessions to diagnose what was wrong with me.
I attended all sessions with her assistant. She's nice. I still have her Facebook, anyway.
Mulai dari curhat, ngerjain semacam kuesioner kepribadian gitu, games, jalan bareng ke mall. Semuanya saya lakukan cuman dalam rangka, well, it was a kind of rehab so I could bounce back to what I used to be: optimistic, energetic, dan gak menye lagi. Hahaha.
I don't know the result. Yes, present tense.
Sampe sekarang saya gak tau hasil dari sesi-sesi itu apa aja. Mungkin cuman Papa yang tau.

Dan, diterimalah saya di sebuah universitas swasta di sini.
Kenapa swasta? Karena saya udah ikut UM dan SNMPTN buat masuk universitas negeri gak pernah lolos aja dong. Hahaha.

Okay, lanjut.

Di universitas swasta ini, saya ikut organisasi, sebuah himpunan mahasiswa sesuai jurusan yang saya ambil.
It was fun, exciting. I learned new things here, new friends also.
Sampai pada tahun ketiga, saya sebenernya udah gak terlalu niat untuk ikut organisasi ini. Pertama, capek. Kedua, saya mau meng-eksplor kegiatan lain di luar organisasi kampus, entah ikut kelas conversation maupun ikut kegiatan sosial lain di luar orang-orang yang sudah saya kenal sebelumnya. (Well, I did: joined catalyst movement. Beberapa kali ikut, makin lama makin gak bisa ikutan; makin banyaknya tuntutan kuliah dan organisasi kampus. Oke, itu excuses saya.) Kedua, saya merasa, banyak kok yang lebih kompeten dari saya untuk ngelanjutin kepengurusan organisasi ini di tahun ketiga.

Eh gak taunya, temen-temen angkatan saya banyak yang resign. Kampret.
Oke, saya mikir. Kalo ini temen-temen gak ada yang gerak, terus organisasi ini habis dong?
Sebetulnya saya bisa berkembang di situ. Tapi masa iya, tanpa mereka?
Akhirnya, ada deh yang "memprovokasi" supaya saya dan temen-temen saya keluar dari comfort zone, melakukan perubahan di tahun kepengurusan yang seharusnya jadi tahunnya angkatan saya.

Saya pun jadi tergoda, kalo gak ada yang maju, mending saya aja.
And it happened again. I followed them, not my heart. Well, saya gak nyalahin yang provokasi, saya gak anggap dia salah.
Saya aja yang setelah itu ngerasa, bahwa kapasitas saya ternyata tidak sebesar harapan mereka. You might gonna say, that I'm a whiner, spoiled little daughter-by reading this-because it turned out I wasn't that tough. Memang, saya selama ini berkembang dan banyak belajar di sana, tetapi kapasitas orang kan berbeda-beda, bisa tahan dan bisa tidak.
So, I took the decision beyond my limit.
Ya, saya lalu mengambil keputusan itu dengan tidak berpikir panjang.

Setahun ke belakang, hampir tiap hari, jujur, saya mengeluh. Kadang saya tahan, kadang saya nangis. Capek. Menyesal.

Kepengurusan udah berpindah tangan beberapa minggu yang lalu. Saya udah gak menjabat apa-apa lagi.
Less-burdened, for sure.
Despite of all the bad things happened to me, back then, somehow now I feel that it was a pleasure to know and understand how real team in organization should works. I know how to handle people, yet I still learning how to practice the right way.

Sebenarnya, saya sekarang memang gak suka ikut-ikutan lagi untuk hal yang gak saya banget atau peduli banget kata orang. Well, sometimes I still do the same thing nowadays but it rarely happens. Kalo sekarang, saya udah mulai untuk pikir-pikir dulu lah. Gak semua kata orang harus diturutin.

Contoh kecilnya aja ya.
Saya punya akun twitter. Saya hanya follow teman saya yang tweet-nya menarik, sebenarnya. Karena menurut saya, gak follow di twitter bukan berarti gak temenan di dunia nyata. Kalo ada yang mikir sebaliknya mah dangkal banget pikirannya. Maaf-maaf aja, tapi memang iya.

Terus, ada temen saya follow saya, minta di follow back. Okay, ternyata teman saya ini RT-abuser.
Rame banget dong home timeline saya. Bikin pusing, mana yang seharusnya yang menarik untuk dibaca sekarang dengan gampangnya kelelep sama retweetan temen saya yang isinya macem conversation yang gak penting juga saya baca.
Twitter yang dirancang untuk microblogging 140 karakter dan itu yang jadi daya tariknya, sekarang temen saya malah pake twitlonger pula. Nah lho. Gimana gak enek tuh.

Beberapa pengecualian, saya tetep follow temen lama saya di twitter meskipun dia ReTweet-abuser karena saya udah jarang banget handle akun Facebook saya. Hiks.
Untuk temen yang tiap hari ketemu mah kalo dia RT-abuser, saya unfollow. Asli.
Kalo ditanya kenapa saya unfollow, jawab aja yang jujur: karena saya gak tertarik liat twit macem RT-abusing gitu. Kalo dia dewasa mah harusnya dia bisa nerima karena prinsip yangtadi saya bilang: "Karena menurut saya, gak follow di twitter bukan berarti gak temenan di dunia nyata."
Kalo ternyata dia ngambek atau marah atau lebih parahnya sampe musuhin saya, saya cuman bisa ketawa. Hahaha.
Saya gak pernah protes kok kalo ada yang mau unfollow saya. Saya bukan selebtwit, therefore, I'm not into celebtwit-minded. Saya gak se-diva itu, guys. Kalo mau unfollow, monggo :)
Saya gak peduli juga kamu mau ngomongin apa saya di belakang cuman gara-gara saya unfollow kamu atau sama sekali gak mau follow kamu.

Eniwei, ini kocak juga sih kenapa saya bahas follow-unfollow twitter disini x))

Sekarang keliatan, dan saya makin ngerti kenapa gak seharusnya saya hidup dengerin semua perkataan orang tentang kita. Mereka bukan kita.
Bagian dari "gak dengerin semua perkataan orang" di sini bukan berarti saya jadi orang yang gak pedulian juga. Ini lebih ke mendengarkan apa yang seharusnya bisa saya terima atau tidak. Membangun atau tidak.
Kalo mereka memberi kritik dan saran membangun, saya pun coba untuk mikirin, memang itu beneran sesuai sama saya atau tidak. Kalo ternyata setelah dipikir dan mengerti ada yang masih salah sama saya, saya masih belajar untuk mendengarkan mereka dan belajar untuk memaafkan diri sendiri untuk gak lagi berbuat yang gak seharusnya. Itu semuanya proses. Saya sedang melakukannya dan sekarangpun masih belajar.

Kalo mendengarkan dan mematuhi mereka dengan tujuan untuk membuat mereka puas atau memenuhi ekspektasi mereka yang berlebihan dan gak sesuai dengan saya, bukan lagi fokus saya. Itu namanya gak membangun. Kalau untuk kemajuan dan perkembangan bersama it's okay. Tapi, kalau hanya untuk kepentingan orang-per-orangan atau sekelompok orang, mending gak usah didengerin.
Saya utamakan apa yang menjadi prioritas dan fokus saya.

Egois? Ah nggak.
Daripada saya melakukannya dengan tidak sepenuh hati dan hanya kamu yang mendapatkan manfaatnya tetapi saya gak ikhlas? Makasih banyak ya.
Saya lebih bahagia seperti ini, karena, sekali lagi, saya gak bisa menyenangkan setiap orang.

"There are a lot of problems with living a life designed to fit everyone else’s expectations of you, though. The top three, as I see it, are:


  1. You can’t please everyone
  2. Their expectations may be based on a narrow, inaccurate view of you
  3. Your values could be wildly different from theirs." Ali Luke (http://www.aliventures.com/live-your-way/)
"You can't please everyone. When you're too focused on living up to other people's standards, you aren't spending enough time raising your own. Some people may whisper, complain and judge. But for the most part, it's all in your head. People care less about your actions than you think. Why? They have their own problems!" - Kris Carr (the New York Times Best-Selling author of Crazy Sexy Diet and Crazy Sexy Kitchen, a wellness activist and cancer thriver)

Thursday 13 June 2013

Ngok.

I've just finished my Business Ethics final paper. Pfiuh.
I was so sleeeepppyyy. And now, my eyes are wide open.  o_O
So I decided to post something here.
Nobody will read. Don't bother.
I don't really care.
What I care is my blaberring thoughts really need to express this s**t.

So yeah, it's been a tough mid-year. And the toughest is still yet to come.
I'm tired. I had enough of whining, crying, throwing vent.

Sekarang aja ngomong gini. Entaran juga kambuh lagi. Yah, manusia.

If you're asking, what am I doing until early June..
A lot. I can't ask for more. Obviously, I won't.
I've gained much productiveness. (based on http://sprachgefuhl.blogspot.com/2011/06/how-does-productivity-differ-from.html)

I'm grateful for being so productive.
But, on the other side, I really need to breathe.
Chill. Relax.
Chillax.

This afternoon, my sister texted me. She asked me to spend my vacation in Jakarta.
She said, "There will be cooking demo. And the fee.. It's not pricey."
She sent me the schedule.
Whoa.
14 June. It's Chef Arnold. Will be showing cooking demo.
*faints*

Ah, let's see if I can make it.
That cooking demo is my motivation now. Ehehe..

Gimme hugs! Gimme hugs! :*